masalah tauhid, numpang dulu

BAB I
DASAR-DASAR TAUHID MENURUT
KAUM SUFI

Ketahuilah, wahai hamba-hamba yang dikasihi Allah, sesungguhnya para guru kaum sufi telah membangun kaidah­ kaidah ajaran sufi yang didasarkan atas prinsip ketauhidan yang benar. Mereka menjaganya dari bid’ah, mendekatkannya dengan sesuatu yang mereka dapatkan dari para salaf (satu iatilah penge­lompokan umat secara periodik yang merujuk pada golongan terdahulu, yaitu generasi para tabiin yang mengikuti jejak para pendahulunya) dan ahli sunnah (Rasulullah Saw. dan para saha­bat). Ajarannya tidak didapati unsur-unsur penyerupaan pada Al-Haqq (panteiame) dan peniadaan (ateisme). Mereka mende­finiaikan segala sesuatu dengan penyandaran kepemilikan tung­gal kepada Haqqul-Qadam (alam yang baru adalah kepunyaan Dzat Yang Terdahulu), menyatakan sesuatu yang ada dengan si­fat ketiadaan (ada yang bersifat niabi).

Oleh karena itu, seorang guru sufi terbesar, Imam Al-Junaid, semoga Allah selalu merahmatinya, berkata, “Tauhid adalah pengesaan pada Yang Lama dari yang baru.” Beberapa ketentuan dasar hukum tentang akidah oleh sejumlah pembesar kaum sufi telah digariakan berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan kesaksian­ kesaksian yang tampak.

Dalam hal ini Imam Ahmad bin Muhammad Al-Jariri, semo­ga Allah merahmatinya, berkata, “Barangsiapa (yang keaga­maannya) belum berdiri di atas (prinsip) ilmu tauhid dengan satu kesaksian dari berbagai kesaksian (pembuktian keesaan Tuhan Yang didasarkan pada keyakinan dan sikap yang nyata setelah memasuki alam logika yang benar), maka tapak-tapak kaki peni­pu pasti akan menggelincirkannya ke lembah nafsu kerusakan.” Artinya, barangsiapa yang berlindung pada prinsip taklid (pengekoran pada suatu pendapat tanpa didasari pengertian dasar dan tujuannya) dan tidak berpikir tentang dalil-dalil tauhid, maka dia akan jatuh dari jalan yang dapat menyelamatkannya,yaitu sunnah Nabi, dan tertawan di lembah kerusakan. Sedangkan bagi orang yang mau merenungkan beberapa kalimat dan ucapan para guru sufi lalu menelitinya dengan seksama, merenungkannya dengan sungguh-sungguh, maka pada beberapa pendapat, kesepakatan, dan perbedaan di antara mereka akan dijumpai sesuatu yang akan memperkuat perenungannya, dengan satu kesimpulan bahwa suatu kaum tidak dapat melalaikan hakikat kebenaran (dalam proses pencarian hakikat) dari tujuan akhir dan tidak dapat ini’raj (rohaninya) ke langit dalam pencariannya dengan berpijak pada kelalaian.

Ma’rifatullah

Abu Bakar Asy-Syibli pernah berkata demikian, “Allah Dzat Yang Esa diketahui keesaan-Nya sebelurn ada batasan dan hutuf. Maha Suci Allah yang tidak ada batasan bagi Dzat-Nya dan tidak ada huruf bagi kalam-Nya.”

Berkaitan dengan ini, Imam Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang permulaan kewajiban yang diwajibkan Allah pada hamba-Nya yang oleh beliau dijawab, “Ma’rifat.” Hal itu didasarkan pada firman Allah:

“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah­(Ku).” (QS. Adz-Dzariyat 56)

Oleh Ibnu Abbas “illaa liya’buduun” (kecuali untuk menyem­bah-Ku) diartikan “Plaa Liya’rt iun” (kecuali untuk berma’rifat yaitu mengetahui, sadar, dan yakin akan keberadaan Allah).

Imam Al-Junaid berkata, “Sesungguhnya awal yang dibu­tuhkan oleh seorang hamba dari sesuatu yang bersifat hikmah adalah mengetahui Sang Pencipta atas keterciptaan dirinya, kebaruan diri tentang bagaimana kebaruannya, sifat keperbedaan Sang Pencipta dari sifat makhluk, sifat keperbedaan “Dzat Yang Lama” dari “yang baru” (alam), menurut pada ajakan-Nya, dan mengetahui keharusan diri untuk bertaat kepada-Nya. Sesung­guhnya orang yang belum mengetahui Dzat Sang Penguasa alam, maka ia tidak akan mengetahui keberadaan kerajaan alam tentang status kepemilikannya untuk siapa.”

Menurut Abu Thayib A]-Maraghi, setiap unsur dalam diri seorang hamba memiliki fungsi yang berbeda-beda berkaitan dengan kema’rifatannya kepada Allah. Akal, menurutnya, memi­liki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah memberi isyarat, dan ma’rifat memberi kesaksian secara utuh. Akal menun­jukan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat mempersaksikan. Karena itu, kejernihan ibadah tidak akan diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid. Kata Imam Al-junaid, tauhid berarti pengesaan Dzat Yang Esa dengan hakikat dan kesempurnaan keesaan-Nya. Sesungguhnya Dia Dzat Yang Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Pengesaan-Nya juga dengan peniadaan terhadap sesuatu yang berlawanan, kesamaan, dan keserupaan. Esa tanpa penyerupaan, pembagaimanaan, penggambaran, pengasosiaan, dan penyimbolan. Tak satu pun di semesta alam ini yang menya­mai-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar dan Melihat.

Pendapat itu tak beda jauh dengan hasil renungan Abu Bakar Az-Zahir Ubadi. Menurutnya, ma’rifat adalah nama, artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya dari sikap ateis dan kufur (ketiadaan pengakuan pada Tuhan dan keberadaan pengakuan yang diaertai penyerupaan).

Sifat-sifat Allah

“Tauhid adalah pengetahuan Anda bahwa bagi Dzat Allah tidak ada keserupaan dan tidak ada peniadaan bagi sifat-sifat­Nya,” kata Abu Hasan Al-Busyanji.

Sementara Husin bin Manshur mendefinisikannya dengan rumusan berbeda, meski nuansa artinya sama. Menurutnya sifat “Lama” adalah bagi-Nya. Karena itu, sesuatu yang dengan jasad penampakannya dapat menjadi, maka penampakan untuk men­jadi adalah keharusan, sesuatu yang dengan berbagai perangkat keterkumpulannya dapat menjadi, maka perangkat yang memperkuat keberadaannya untuk menjadi adalah keharusan, yaitu suatu keharusan menjadi atau mengada yang sifatnya untuk mempertahankan keberadaannya, sesuatu yang waktu merajutnya, maka pemisahan waktu adalah lawannya, sesuatu yang tegaknya berkaitan dengan lainnya, maka perekatan di situ menjadi keniscayaan, dan sesuatu yang khayalan mampu menerkamnya, maka penggambaran harus lebih mengunggulinya. Barangsiapa mencari dan memberi perlindungan di mana tempat­Nya berada, maka Tuhan tidak berlindung di tempat atas, tidak di bawah, tidak menerima pembatas, tidak didesak dengan keter­himpitan selain-Nya di sisi-Nya, tidak dijangkau oleh ya-ng bela­kang, tidak dipagari oleh yang depan, tidak dimunculkan oleh yang sebelum-Nya, tidak dikumpulkan oleh yang terkumpul, tidak diadakan oleh yang ada, tidak ditiadakan oleh yang tidak ada. Sifat-nya tidak bersifat (bergambar), perbuatan-Nya tidak bersebab, keberadaan-Nya tidak berbatas, segala-Nya terbebas dari tingkah laku makhluk. Ke maha penciptaan-Nya tidak ada pasangan-Nya, perbuatan-Nya tidak ada alasan. Keterdahuluan­Nya jelas dan kebaruan makhluk juga jelas.

jika kamu mengatakan, “waktu telah berlalu”, maka kebera­daan-Nya sungguh melampaui waktu yang berlalu, jika kamu mengatakan, “Huwa” – kata ganti tunggal untuk Allah yang ber­arti Dia”, maka huruf “Ha’” dan “Wawu” itu sendiri adalah makh­luk, dan jika kamu bertanya, “Di mana?”, maka keberadaan-Nya telah mendahului tempat.

Huruf-huruf adalah ayat-ayat-Nya (tanda-tanda-Nya), kebe­radaan-Nya adalah ketetapan-Nya, ma’rifat-Nya adalah peng­esaan terhadap-Nya, pengesaan-Nya adalah membedakan-Nya dari makhluk-Nya. Apa. yang tergambar dalam khayalan adalah berbeda dengan keberadaan-Nya. Bagaimana sesuatu yang dari­-Nya bertempat adalah permulaan sesuatu itu, atau kembali kepa­da-Nya apa yang telah disusun-Nya. Persangkaan-persangkaan tidak mampu menerima Tuhan. Kedekatan-Nya adalah karamah­Nya dan keterjauhan-Nya adalah penghinaan-Nya. Ketinggian­Nya tanpa naik, kedatangan-Nya tanpa berpindah. Dia adalah Dzat Yang Pertama, terakhir, Tampak, Tersembunyi, Dekat, Jauh, dan tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.

Yusuf bin Husin bercerita, “Ada seorang laki-laki berdiri di hadapan Dzun Nun A]-Mishri lalu bertanya,’Beritahukan padaku tentang makna tauhid?’ Lalu oleh beliau dijawab, ‘Hendaknya engkau mengetahui bahwa kekuasaan Allah dalam segala hal tanpa kerja sama, penciptaan-Nya tanpa sebab atau alasan, penyebab keterciptaan sesuatu itu sendiri juga ciptaan-Nya. Karena itu, tidak ada sebab yang melatarbelakangi penciptaan­Nya. Tak ada yang di langit dan di bumi menjadi tinggi dan ren­dah sebagai bentuk pengaturan alam yang diatur selain Allah. Apa yang terlukia di khayalan manusia adalah berbeda dengan keberadaan Allah.”‘

Bagi Imam Al-junaid, tauhid berarti pengetahuan dan penga­kuan bahwa Allah adalah Dzat Yang Tunggal dalam keabadian dan keterdahuluan-Nya, tak ada pihak kedua yang menyertai­Nya. Apa pun yang bergerak di alam tidak bekerja dengan sen­dirinya.

Iman

Iman menurut Abu Abdullah bin Khafif adalah pembenaran hati terhadap, sesuatu yang telah dijelaskan oleh Al-Haqq tentang masalah-masalah gaib.

Dalam hal ini Imam Abu Abbas As Sayyari berkata bahwa pemberian Allah ada dua: karamah (kemuhaan) dan istidraj (peng­luluan, Jawa). Apa yang tetap, dan ditetapkan Al-Haqq kepada kamu adalah karamah, dan apa yang lenyap darimu adalah istidraj. Karena itu, katakan, “Saya adalah orang mukmin insya Allah.”

Sahal bin Abdullah At-Tustari memandang bahwa orang mukmin dalam memandang Allah dengan penglihatan tanpa pagar dan pangetahuan yang tak berakhir. “Hati adalah sejumlah kesaksian Al-Haqq,” kata Abu Husin An-Nuri, “dan kami belum pernah melihat hati yang lebih rindu kepada Al-Haqq melebihi hati Muhammad Saw. Karena itu, Allah memuliakannya dengan mi’raj yang bergerak dengan sangat cepat. Kehadiran dalam mi’rajnya untuk memandang Dzat dan kesempumaan-Nya.”

Abu Utsman Al-Maghribi pernah menuturkan pengalaman spiritualnya. “Suatu saat,” tutur-Nya, “saya pernah mempercayai keberadaan sesuatu di sisi yang baru. Ketika saya tiba di Bagdad, kepercayaan itu hilang dari hati saya, lalu saya mmenulis Surat kepada teman-teman saya di Mekkah dan mengatakan, ‘Sesung­guhnya sekarang saya menjadi seorang muslim yang baru.’Pada kali kesempatan lain, dia pernah ditanya oleh seseorang tentang penciptaan, lalu menjawab, “…perubahan-perubahan (evolusi) dan bayangan-bayangan terdapat hukum Tuhan yang berlaku kepada mereka.”

Al-Wasithi pernah berkata, “Ketika sejumlah ruh dan jasad berdiri berjajar di sisi Allah, keduanya nampak tidak dengan zat­nya. Demikian pula halnya dengan getaran-getaran hati,dan gera­kan-gerakan organ tubuh yang berdiri dengan Allah tanpa keber­adaan zatnya, karena gerakan dan getaran hati ‘merupakan perpanjangan bagian dari jasad dan ruh.”

Rezeki

Sesungguhnya rezeki yang diterima setiap hamba adalah makhluk Allah. Segala sesuatu, di alam ini, baik yang bersifat fisik atau non fisik, memiliki jasad atau tidak adalah ciptaan Allah. Tidak ada pencipta selain-Nya.

“Yang Dicari” (Allah) akan sampai Kepada-Nya, maka pela­kunya itu adalah orang yang payah, dan jika pencarian untuk sampai kepada-Nya itu tanpa upaya yang keras, maka pelakunya adalah orang yang dianugerahi.” Al-Maqamat (sesuatu yang dicari), menurut Al-Wasithi, terbagi dalam beberapa bagian dan sifat-sifat atau tempelan-tempelan yang diganjarkan. Maka, bagaimana perolehannya tergantung dengan gerakan-gerakan dan upaya-upaya yang panjang dan sungguh-sungguh.

Kufur

Seorang ulama besar, At-Wasithi suatu saat ditanya tentang arti kufur pada Allah. Ia menjawab bahwa kufur dan iman, dunia dan akhirat adalah dari, menuju, dengan, dan bagi Allah. Dari Allah segala permulaan dan susunan, kepada-Nya tempat kem­bali dan berakhir, bersama-Nya sesuatu yang tetap dan lenyap, dan bagi-Nya semua kerajaan dan ciptaan.

Menurut Al-Junaid, ada seorang ulama ditanya tentang tauhid, dia menjawab, “keyakinan”. Penanya itu minta kejelasan lagi, lalu dijawab oleh beliau, “Yakni, ma’rifatmu (pengeta­huanmu) bahwa semua gerak dan diamnya makhluk merupakan,, perbuatan Allah semata, tak ada menandingi-Nya. Karena itu, jika kamu berbuat demikian, berarti kamu benar-benar telah meng-Esakan-Nya.”

Pernah seseorang datang dan meminta Dzun Nun AI-Miahri, seorang ulama sufi Mesir untuk mendoakanya, “Doakanlah aku,” katanya. Kemudian dijawab, “Jika engkau telah memperkuat ilmu gaib (pengetahuan tentang masalah gaib, seperti Tuhan, sifat­sifat-Nya, akhirat, dan lain-lain) dengan kebenaran tauhid, maka dos pasti terkabulkan. jika tidak, maka dos tidak akan menyela­matkan orang yang tenggelam.”

Menurut Abu Husin An-Nuri, tauhid adalah setiap lintasan batin yang menunjuk pada Allah tanpa diaertai lintasan-lintasan penyerupaan. Abu Ali Ar-Rudzabari ketika ditanya tentang tauhid menjawab demikian, “Tauhid adalah ketetapan hati secara kon­tinyu dan stabil akan keesaan-Nya dengan penetapan pemisahan pengingkaran Tuhan (ateisme) dan penyerupaan (penyekutuan Tuhan). Tauhid mengkristal dalam satu kalimat, yaitu setiap apa yang bisa digambarkan khayal dan akal adalah bukan Tuhan Allah Allah Maha Suci dari semua itu.

“tak ada keserupaan sedikit pun bagi-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)

Abul Qasim An-wNashr ‘ Abadzi berkata, “Sorga itu tetap dengan penetapan-Nya, penyebutan-Nya bagimu, rahmat, dan kecintaan-Nya untukmu adalah tetap juga dengan penetapan­Nya. Keduanya ada antara ketetapan dan penetapan-Nya, dan penetapan yang ditetapkan-Nya.”

AM Haq (kaum, hakikat) mengatakan, “Sesungguhnya sifat­-sifat Dzat Yang Qadim (Maha Dahulu) adalah tetap dengan kete­tapan-Nya, berbeda dengan yang dikatakan oleh para penentang Al-Haqq’

An-Nashr Abadzi berkata, “Engkau terombang-ambing an­tara sifat-sifat perbuatan dan sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah sifat Allah yang mempertegas kehakikatan-Nya. Jika kelinglung­anmu karena kecintaanmu pada Allah berada di maqam (tingkat posisi kema’rifatan) perpisahan, maka kedekatanmu terjadi dengan sifat-sifat perbuatan-Nya, dan jika pencapaianmu sampai di magam jam’i (terkumpul atau penyatuan hamba dengan Al­lah), maka kedekatanmu terjadi dengan sifat-sifat Dzat-Nya.”

Abu Ishaq Al-Asfarayaini, seorang guru spiritual bergelar imam, menuturkan kisah perjalanan spiritualnya, “Ketika tiba dari Bagdad, aku mengajar di mesjid Naisabur tentang masalah ruh. Aku jelaskan bahwa ruh adalah makhluk. Saat itu Abul Qasim An-Nashr Abadzi yang sedang duduk berjauhan dari majelis, kami memperhatikan kalimat-kalimatku dan melewatinya beberapa hari hingga batas waktu tertentu yang membuatnya tak kuasa untuk tidak mengatakan perubahan jiwanya kepada Muhammad Al-Farra’.’Saya bersaksi akunya, ‘bahwa saya telah menjadi seorang muslim yang baru melalui tangan laki-laki itu,’ lanjutnya sambil menunjuk ke arahku.”

“Kabarkan padaku tentang Allah,” tanya seseorang kepada Yahya bin Mu’adz.

“Dia Tuhan Yang Esa.” “Bagaimana Dia?”

“Dia Raja Yang Berkuasa.” “Di mana Dia?”

“Di tempat pengintaian.”

Penanya itu tidak puas dengan jawaban Ibnu Mu’adz. “Aku tidak bertanya kepadamu tentang itu,” katanya kemudian. “Apa ada selain itu.”

Ibnu Syahin pernah bertanya kepada Imam Al-Junaid tentang makna ma’a (bersama), lalu oleh beliau dijawab, “Ma’a mempunyai dua arti. Bersama para Nabi berarti pertolongan dan perlindungan, berdasar firman Allah Swt.:

“Sesungguhnya aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan melihat.” (QS. Thalia: 46).

Kedua, ma’a (bersama) umum adalah ma’a yang berarti ilmu pengetahuan Allah dan peliputan, dengan dasar firman-Nya.

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya.” (QS. Al-Mujadalah: 7).

Kemudian Ibnu Syahin berkata, “Orang seperti Anda patut menjadi penunjuk bagi umat menuju Allah.”

‘Arasy

Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya seseorang tentang ayat yang berbunyi:

“Tuhan YangMaha Pemurah, Yang bersemayam di atas arasy.”

Lalu dijawab, “Dzat-Nya tetap, tempat-Nya tidak ada, sebab Dia ada dengan Dzat-Nya, sedang segala sesuatu ada dengan hukum-Nya menurut kehendak-Nya.”

Sedangkan menurut Asy-Syibli firman itu bermakna: Ar­Rahman bersifat kesenantiasaan (tidak bergeser), AI-Arasy (singgasana-Nya) bersifat baru, dan Arasy pada Ar-Rahman bersemayam. Adapun Ja’far bin Nashr mengartikannya bahwa ilmu-Nya menyeluruh dengan segala sesuatu. Karena itu, tak ada sesuatu yang lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain.

Ja’far Ash-Shadiq berkata, “Barangsiapa yang meyakini bah­wa Allah dalam, dari, dan di atas sesuatu, maka dia telah berbuat syirik. Karena, jika Dia berada dalam sesuatu, niacaya Dia terku­rung, jika dari sesuatu, maka Dia baru (tercipta), dan jika di atas sesuatu, berarti Dia terpikul.”

Kemudian dia melanjutkan dengan mengomentari ayat:

“Kemudian dia mendekat lalu bertambah dekat lagi.” (An-Najm: 8).

Menurutnya, orang yang menduga bahwa dirinya telah dekat (pada Allah) pada hakikatnya dia menciptakan jarak. Se­sungguhnya kesalingdekatan seorang hamba dengan Allah ada­lah ketika kedekatan dari-Nya setelah kejauhan dari macam-ma­cam pengetahuan, karena tak ada yang dekat dan jauh.

“Hakikat kedekatan,” kata Al-Kharraz, “adalah hilangnya rasa pada sesuatu dari hati berganti ketundukan nurani kapada Allah.”

Suatu saat Ibrahim Al-Khawwash melihat sesuatu yang aneh. “Saat aku berhenti di hadapan seorang laki-laki yang baru­san dibanting setan,” kisahnya, “aku bermaksud mengazaninya melalui telinganya. Tiba-tiba setan menegurku dari rongga badannya, ‘Tinggalkan dia! Aku akan membunuhnya karena ucapannya yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk.”‘

Menurut Ibnu Atha’ bahwa Allah ketika menciptakan huruf, baginya diciptakan pula rahasia, dan ketika Adam a.s. telah tercip­ta, Allah menebarkan rahasianya ke dalam dirinya dan tidak kepada satu malaikat pun. Lalu huruf-huruf itu berjalan di lidah Adam a.s. dengan hukum pembiasaan dan undang-undang baha­sa, lalu oleh Allah dilengkapinya dengan bentuk.

Bagi Ibnu Atha’ huruf adalah makhluk. Karena itu, Sahal bin Abdullah berpendapat bahwa huruf-huruf merupakan lidah perbuatan, bukan lidah zat, karena huruf itu sendiri berbuat yang diperbuat (aktif dalam kepasifan, tidak bergerak dengan sendirinya).

Tawakal kaitannya dengan tauhid menurut Imam Al-Junaid ketika menjawab beberapa pertanyaan penduduk Syam adalah perbuatan hati. “Tawakalladalah perbuatan hati, sedangkan tauhid ucapan hati,” begitu katanya.

Husin bin Manshur berkata, “Barangsiapa mengetahui hakikat tauhid, pasti akan gugur darinya pertanyaan mengapa dan bagaimana.”

Al-Wasithi berkata,. Allah tidak menciptakan sesuatu yang lebih mulia dari ruh.”

Dzat Yang Al-Haqq

Beberapa guru spiritual thariqah (guru sufi yang mengamalkan salah satu aliran thariqah) ini berbicara tentang hakikat tauhid’ Tauhid itu berkisar pada pengesaan Allah dan sifat-sifat- Nya. “Sesungguhnya Allah, Dzat Yang Maha Suci adalah ada (dengan sendirinya),” kata mereka, “Terdahulu, Satu, Bijak, Kua­sa, Maha Tahu, Maha Pemaksa, Pengasih, Penguasa Kehendak, Mendengar, Maha Luhur, Maha Tmggi, Maha Bicara, Maha Meli­hat, Maha Pembesar, Maha Pemberi ketentuan, Maha Hidup, Esa, Tetap, dan tempat bergantung.”

Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui dengan pengetahuan­Nya sendiri, Kuasa dengan kekuasaan-Nya, berkehendak dengan kehendak-Nya, mendengar dengan pendengaran-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya, berbicara dengan pembicaraan-Nya, hidup dengan kehidupan-Nya, dan tetap dengan ketetapan-Nya.

Dia memiliki dua tangan sebagai sifat-Nya yang dengan ke­duanya menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Maha Suci Tuhan Allah atas pengkhususan-pengkhususan. Bagi-Nya wajah yang amat indah.

Sifat-sifat Dzat-Nya khusus dengan Dzat-Nya, tidak bisa dikatakan dia (perempuan) adalah dia (laki-laki), tidak juga Dia yang berubah-ubah, bahkan dia (Hiya) itu sendiri adalah sifat­Nya yang azah (terdahulu). Sifat-sifat-Nya kokoh dan panjang.

Dia sesungguhnya Esa dalam Dzat-Nya, tidak juga Dia me­nyerupai makhluk-Nya. Dia tidak berjasad, beraga, berjiwa, tak ada sifat-sifat yang lembut, tak tergambarkan dalam khayal, tidak terukur dalam yang masuk akal, tidak berarah dan bertem­pat, tidak ada waktu dan zaman yang menjalankannya, dan tidak boleh dalam pensifatan-Nya mengurangi dan menambah.

Tidak ada bentuk dan ukuran yang mencirikan-Nya, tidak ada’akhir dan batas yang memutuskan-Nya, tak ada. kejadian Yang menindih-Nya, tidak ada motivator yang membawa-Nya pada perbuatan, tak ada warna dan keberadaan yang boleh mewamai-Nya, dan tak ada perpanjangan dan bantuan yang menolong-Nya.

sesuatu yang telah ditentukan tidak bisa keluar dari keten­tuan-Nya, yang tercipta tidak bisa terlepas dari hukum-Nya, bagaimana dan apa yang dibuat oleh-Nya tidak tercela. Allah juga tidak boleh dikatakan “di mana dan bagaimana Dia”.

Keberadaan-Nya tidak dimulai, tidak juga bisa ditanyakan kapan keberadaan-Nya. Sifat kekal-Nya tidak berakhir. Karena itu, Dia dikatakan sebagai Dzat yang menyemprnakan ajal dan zaman, dan tidak boleh dikatakan mengapa Dia berbuat dan apa yang diperbuat, karena semua perbuatan-Nya tidak mempunyai sebab atau alasan.

Tuhan, keberadaan-Nya tidak boleh dipertanyakan tentang apa-Nya, karena bagi-Nya tidak berjenis sehingga membutuhkan simbol-simbol dan ciri-ciri pembeda yang menandai bentuk-Nya. Dia dilihat tidak dari sisi berhadapan yang berlawanan, melihat lain-Nya tidak dari persamaan-Nya, dan Dia mendptakan tidak dari hasil persenggamaan, ker agama dan latihan.

Bagi-Nya nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang luhur. Dia berbuat apa yang dikehendaki dan menundukkan hamba­Nya pada hikmah-Nya. Tidak ber alan dalam kekuasaan-Nya kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak akan ter adi dalam kerajaan-Nya melainkan telah didahului oleh suatu ketentuan.

Dia Tuhan Pencita rezeki hamba-hamba-Nya, yang baik mau­pun yang buruk, direproduksi-Nya pula apa yang ada di dalam, baik yang kasat maupun yang tak kasat mata, berujud atau hanya berupa bayang-bayang, para rasul diutus-Nya kepada seluruh umat tanpa Dia harus terikat dengan kewajiban, diharuskannya manusia menyembah melalui lidah para nabi, semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam-Nya, dengan sesuatu yang tak ada bagi siapa saja yang mampu mengecam maupun menentang­Nya (berpaling), diperkuat-Nya Nabi kita Muhammad Saw. dengan beberapa mukjizat yang tampak dan ayat-ayat yang indah, dengan sesuatu yang menyingkirkan uzur, mempertegas keyakinan dan mengidentifikasikan kemungkaran. Allah juga menjaga keeermelangan Islam setelah kewafatan Nabi-Nya yang mulia dengan para khalifah yang diberi petunjuk, kemudian memelihara yang haq dan menolongnya dengan memberi penjelasan berupa argumen-argumen agama melalui lidah para wali-Nya, menjaga umat yang bersih dari masyarakat yang sesat, memotong materi (ajaran) yang salah dengan dahl yang mantap, dan memenuhi apa yang telah dijanjikan-Nya berupa keme­nangan agama dengan firman-Nya berupa kemenangan agama:

Tinggalkan komentar